Happy

After  Brandy (my dog that had been a huge part of my life for 20 years)  died and my marriage ended, the kids and I lived with one dog for a couple of months, but I decided we needed some extra happiness in our lives. That happiness came in the form of a dog named Happy, who was always wagging his tail with excitement. We found him at the San Francisco Humane Society. Where Odie (our Australian

Isu gender muncul dalam audiensi rancangan qanun Aceh

Masjid Raya Aceh (www.pbase.com)
Banda Aceh - Isu gender muncul dalam audiensi prarancangan qanun (peraturan daerah) Provinsi Aceh tentang kesehatan di samping strategi lainnya yang merujuk pada Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) dan syariat Islam.

"Aspek pelayanan kesehatan yang mendukung implimentasi syariat Islam perlu dipertimbangkan sebelum qanun disahkan. Misalnya pembedaan penanganan dan pelayanan kesehatan antara laki-laki dan perempuan," kata pemerhati kesehatan Nasrulzaman di Banda Aceh, Kamis (15/10).

Dalam audiensi yang digelar Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh itu, ia menambahkan perlu dipikirkan ide seperti rumah sakit perempuan dan mendorong jumlah dokter spesialis obgyn dan penyakit kelamin berbanding lurus dengan jumlah perempuan (gender perspectif).

Isu strategis lain yang muncul dalam audiensi itu di antaranya raqan kesehatan yang disusun harus merujuk pada UUPA terutama pasal 224-226 seperti pelayanan kesehatan tanpa memungut biaya dan sesuai dengan syariat Islam.

Selain itu, kepentingan kelompok rentan dan akses bagi penyandang cacat juga perlu dipikirkan termasuk mengenai keselamatan kerja sebab Pemerintah mempunyai kewajiban untuk menjamin hak-hak pekerja atas kesehatan dan keselamatannya.

Dalam telaah kritis butir-butir pemikiran penyempurnaan raqan kesehatan, menurut Sekretaris Komite Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal Aceh (KP2DTA) itu terdapat 20 pasal yang perlu disempurnakan agar dapat diimplementasikan.

Selain itu, pada bab VIII pasal 18 pra raqan kesehatan tentang swastanisasi sistem kesehatan juga dinilai sangat kapitalis dan leberal serta melepaskan tanggungjawab pemerintah kepada swasta.

Sementara Makmur dari Biro Hukum Sekwan DPR Aceh dalam kegiatan tersebut mengatakan, yang perlu diperhatikan adalah raqan tersebut harus merujuk dan tidak melenceng dari UUPA.

"Yang perlu diatur dalam raqan kesehatan harus merujuk pada UUPA jangan meluas pada undang-undang kesehatan karena Aceh memiliki peraturan dan kewenangan sendiri," katanya.

Indonesian Mosques Stand through Earthquake and Tsunami

Saat gelombang datang, instink Achyar langsung mendorongnya untuk mendekati masjid. ''Saya memanjat menara masjid sampai air surut. Banyak teman saya dan warga keturunan Cina, meninggal karena mereka naik ke lantai dua di tokonya, kemudian terjebak di situ,'' tutur warga Banda Aceh itu.Tiga orang Marinir juga berlindung di masjid. ''De, aku selamat. Aku ada di atas menara mesjid. Bareng dua Marinir dan delapan ibu-ibu. Airnya banyak sekali, nggak tahu datang dari mana. Masih shock kalo denger suara keras,'' ungkap sang Marinir lewat SMS yang dikirimkan kepada adiknya di Bandung. Ketika tsunami menerjang Aceh, banyak bangunan luluh lantak. Puing-puing rumah saling bertumpuk. Tapi, tidak untuk masjid. Keajaiban menyertai keberadaan masjid-masjid di Aceh. Saat daerah di sekitarnya hancur lebur, masjid-masjid itu tetap berdiri kokoh. Gambar di televisi juga foto-foto udara merekamnya dengan sangat jelas.
                                                      

Saat tsunami menerjang, kawasan Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, ikut tergenang. Bangunan-bangunan di sekitar masjid seperti Pasar Aceh, juga jajaran pertokoan, luluh lantak. Namun, masjid tersebut tetap berdiri kokoh. Gambar televisi menunjukkan, banyak orang yang berlindung di masjid saat gelombang air datang. Bahkan, saat melintas halaman masjid, air terlihat tenang.
                                                      

Hasyim, juru kamera amatir yang berhasil mengabadikan momen saat gelombang tsunami melewati Masjid Baiturrahman termasuk orang yang berlindung di masjid tersebut. Meski gelombang terus menerjang, dia tetap tenang mengambil gambar. ''Saya ingat pada Allah SWT dan keluarga saya. Saya serahkan seluruh diri saya pada Allah. Jika saya mati di sini, saya mati di rumah Allah dan saya tidak takut sama sekali,'' tuturnya.

Masjid yang didirikan Sultan Alaudin Mahmudsyah I (1234-1267 M) itu kemudian malah menjadi tempat pengungsian dan persemayaman jenazah-jenazah korban yang meninggal. Warga Banda Aceh juga banyak berdatangan ke masjid tersebut untuk mencari kerabatnya yang hilang. Riwayat sejarah masjid ini sudah sangat panjang. Pada 1873, akibat serangan tentara Belanda, masjid ini sempat terbakar. Rakyat Aceh kala itu pun sangat marah. Namun, peristiwa tersebut tidak lantas membuat riwayat Masjid Baiturrahman berakhir. Enam tahun kemudian, yakni pada 1879 masjid itu sudah dibangun kembali. Qadhi Malikul Adil menjadi tokoh Aceh yang meletakkan batu pertama pada pembangunan tersebut.
                                                     
Pada perkembangannya, masjid itu menjadi simbol perjuangan dan kekuatan rakyat Aceh. Simbol itu seperti diteguhkan lagi saat gempa tsunami menerjang. Padahal, seorang ahli geologi pernah mengungkapkan, kalau gempa kekuatannya sampai 9 skala richter, maka semuanya akan rata dengan tanah. Tapi, Sang Pencipta berkehendak lain. Masjid Baiturrahman hanya mengalami kerusakan kecil meski diguncang gempa 9 skala richter, dan tsunami yang sangat dahsyat.

''Banyak diomongkan orang Aceh bahwa masjid adalah rumah Allah SWT dan tidak ada sesuatu pun yang bisa menghancurkannya kecuali Allah SWT sendiri,'' kata Ismail Ishak (42) warga Banda Aceh. Musibah tersebut telah membuat Ismail kehilangan tujuh kerabatnya. Cerita soal kekokohan masjid juga terlihat di Desa Baet, pinggiran Banda Aceh. Di situ terdapat masjid kampung yang tetap berdiri saat rumah penduduk dan bangunan lain di kampung itu rata dengan tanah. ''Tangan Allah SWT telah menjaga masjid agar tidak hancur,'' ujar Mukhlis Khaeran, warga Desa Baet. Rumah dia sendiri habis diterjang gelombang tsunami. ''Allah telah menjatuhkan hukuman karena kita tamak dan arogan. Tapi, Dia akan tetap melindungi rumah-Nya,'' lanjut Mukhlis.
                                                     
Di daerah Pasi Lhok (20 kilometer sebelah timur Sigli), juga terdapat masjid kampung yang tegar menghadapi tsunami. Lebih dari 100 warga berlindung di masjid itu untuk menyelamatkan diri dari amukan gempa dan tsunami. Kata ulama di lokasi tersebut, Teuku Kaoy Ali, lima desa di kawasan Pasi Lhok telah hancur lebur, namun masjid di kampungnya tetap berdiri kokoh. Pemandangan lebih dramatik terlihat di Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat. Kota ini berhadapan langsung dengan Samudra Hindia, sehingga mengalami kerusakan yang sangat parah.

Namun, salah satu foto udara yang diambil di kota tersebut menggambarkan ada salah satu masjid yang tetap berdiri meski seluruh bangunan di sekitarnya hancur lebur. Boleh jadi struktur bangunan masjid memang lebih kuat dibanding bangunan lainnya. Namun, hal ini terbantahkan oleh salah satu masjid di Sigli yang mayoritas hanya terbuat dari kayu. Masjid itu tetap tegap berdiri meski bangunan di sekitarnya roboh. 
                                                           
Salah satu masjid yang sangat tua di Aceh, yakni Masjid Indrapuri juga tidak mengalami kerusakan berarti akibat musibah tersebut. Nama Indrapuri diambil dari kerajaan orang-orang Hindu yang pernah berdiri di Aceh. Masjid ini dibangun Sultan Iskandarmuda (1607-1636). Area sekitar masjid Indrapuri memang tidak tersentuh air bah. Namun, guncangan akibat gempa terasa begitu kuat. Mungkin karena mayoritas bangunan terbuat dari kayu termasuk tiang-tiang utamanya guncangan gempa berkekuatan 9 skala richter itu tak mampu menggoyahkan masjid tersebut.

tsunami di Banda Aceh

assalam mu alaikum smua,,,,,,
pda inget g? pas tgl 26 desember 2004 indonesia ngalamin musibah, yg mnrut w nyeremin buanget! yaitu, tsunami,, yg parah lagi, se banda aceh tuh kena semua!
ih, kalo kata w, smua ni tu bnr2 tguran bsar bwd smua anak mnusia, coz mrka tlh nyakitin bumi yg da mkn TUA ini (kjam banget y?). n yg trjd d aceh tu cm se mprit duank,, yg lbh parah blom trjd!!!!!
pren, pa u smua bakal biarin mua ni trjd??? pa u mua bakal nunggu mpe bumi kita anchur lbur????
w harap g!! come on, pren,, hal tu dm tguran dr yg mha kuasa,,,, jgn biarin smua musnah!!!!!!!!
wassalam,,,,
esa dian.

Sudan Belajar Perdamaian di Aceh

aceh1Sebanyak 29 delegasi dari negara Sudan berkunjung ke Aceh untuk belajar proses perdamaian antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), sehingga mengakhiri konflik berkepanjangan di daerah tersebut.
“Kami ingin belajar proses perdamaian di Aceh, karena banyak hal yang bisa diadopsi seperti kesepakatan bersama antara Pemerintah Indonesia dengan GAM, sehingga lahirnya MoU Helsinki,” kata Wakil Gubernur Negara Bagian Kordofan, Sudan, Abdul Aziz Adam Alhilo di Banda Aceh, Minggu.
Pernyataan tersebut disampaikan pada acara pertemuan delegasi dari dua negara bagian tengah Sudan yaitu Kordofan dan Blue Nile, dengan sejumlah elemen dan unsur Pemerintah Aceh seperti Karo Humas Setda Aceh A Hamid Zein, Ketua Harian BRA Nur Djuli, T Kamuruzzaman dan Anggota DPR Aceh Abdullah Saleh.
Menurut dia, persoalan yang terjadi di Sudan, adalah konflik antara Pemerintah pusat dengan negara bagian untuk memperjuangkan kesejahteraan bagi rakyat. Konflik di Kordofan dan Blue Nile telah berlangsung sejak dua puluh tahun dan berakhir pada 2005 setelah adanya kesepakatan bersama, untuk mengakhiri konflik.
“Kedua belah pihak sepakat untuk mengakhiri konflik dan membuat kesepakatan bersama seperti pembagian hasil dua persen bagi daerah tersebut dengan pemerintah pusat,” kata Wagub Kordofan.
Kesepakatan tersebut harus juga disepakati oleh seluruh warga negara di kedua daerah tersebut, sehingga apa yang diharapkan seperti peningkatan ekonomi, pendidikan dan kesejahteraan bagi warga negara dapat terwujud. “Kalau masyarakat tidak sepakat, maka kami akan melakukan perundingan lagi dengan pemerintah yang kami rencanakan pada 2011,” jelasnya. (*an/ha

Sejarah Etnis Aceh

Pada waktu masih sebagai sebuah kerajaan, yang dimaksud dengan Aceh adalah wilayah yang sekarang dikenal dengan nama Aceh Besar, yang di dalam istilah Aceh disebut Aceh Rayeuk, yaitu salah satu kabupaten atau daerah tingkat II di Nanggroe Aceh Darussalam. Semasa masih sebagai kerajaan, Aceh Rayeuk (Aceh Besar) merupakan inti Kerajaan Aceh (Aceh proper) dan telah menyebarkan sebagian penduduknya ke daerah-
daerah lain di sekitarnya (daerah takluk) yang oleh Belanda dinamakan Onderhorigheden. Sebutan Aceh juga digunakan oleh orang-orang di daerah takluk di luar Aceh Rayeuk (Aceh Besar) dalam wilayah Kerajaan Aceh untuk menyebut nama ibukota kerajaan yang sekarang bernama Banda Aceh. Mereka yang mendiami pesisir Timur seperti Pidie, Aceh Utara hingga Aceh Timur, dan Pesisir Barat dan Selatan, jika mau ke ibukota kerajaan (Banda Aceh) mengatakan mau pergi ke Aceh. Sebutan ini masih ada yang menggunakannya sampai sekarang.
Selain sebagai nama daerah, Aceh juga merupakan nama salah satu suku bangsa atau etnis sebagai penduduk asli yang mendiami Provinsi Nanggroe Aceh Darusssalam. Di Provinsi Nanggroe Aceh Drussalam sekarang terdapat 20 daerah tingkat II yang didiami oleh delapan kelompok etnis, yaitu etnis Aceh, Gayo, Alas, Tamiang, Aneuk Jamee, Kluet, Simeulue, dan Singkil. Semua etnis ini adalah penduduk asli yang dalam istilah Belanda disebut inlander (penduduk pribumi).
Hingga saat ini belum ada satu kepastian konkret mengenai asal muasal dan kapan istilah Aceh mulai digunakan karena data yang dapat memberi kesimpulan tentang asal muasal etnis Aceh tersebut tidak ditemukan. Infromasi atau sumber yang berasal dari orang Aceh sendiri tentang hal ini masih berupa kisah-kisah popular yang disampaikan secara turun-temurun (berupa tradisi lisan) yang sulit untuk dipertanggungjawabkan kebenarannya. Para pendatang luar (orang-orang asing) yang pernah mengunjungi Aceh sewaktu masih sebagai sebuah kerajaan menyebutkan dengan nama beragam. Orang Portugis misalnya menyebut dengan nama Achen dan Achem, orang Inggris menyebut Achin, orang Perancis menamakan Achen dan Acheh, orang Arab menyebut Asyi, sementara orang Belanda menamakan Atchin dan Acheh. Orang Aceh sendiri menyebut dirinya dengan nama Ureung Aceh (orang Aceh). Memang terdapat beberapa sumber yang menginformasikan tentang asal muasal nama Aceh dan etnis Aceh, namun sumber-sumber tersebut bersifat mistis atau dongeng, meskipun ada juga yang dikutip oleh para penulis asing seperti penulis-penulis Belanda.
K.F.H Van Langen dalam salah satu karyanya tentang Aceh berjudul De Inrichting Van het Atjehsche Staatbestuur Onder het Sultanaat (Susunan Pemerintah Aceh Semasa Kesultanan) yang dimuat dalam BKI 37 (1888) serta juga yang dikutip dari Laporan Gubernur Aceh dan Daerah Takluknya yang diterima sebagai Lampiran Surat Sekretaris Pemerintahan Umum tertanggal 30 Juni 1887 No. 956 dimuat dalam majalah TBG (1889) dengan judul Lets Omtrent de Oosprong Van Het Atjesche Volk en den Toestand Onder het Voormalig Sultanaat in Atjeh (Serba-serbi Tentang Asal-Usul Bangsa Aceh dan Keadaan Pada Masa Pemerintahan Kesultanaan di Aceh). Disebutkan bahwa menurut cerita-cerita rakyat, penduduk asli Aceh disebut ureueng manteue yang didominasi oleh orang-orang Batak dan juga etnis Gayo. Mereka termasuk dalam keluarga besar Melayu yang asal-usulnya juga belum diketahui secara pasti. Untuk menguatkan pendapat ini, dijelaskan bahwa di dalam adat Batak dan Gayo masih terdapat unsur-unsur dan kata-kata yang juga dijumpai dalam bahasa Aceh, meskipun dengan ucapan yang telah berubah di samping unsur-unsur formatif bahasa Batak dan Gayo.
Ada pula yang memperkirakan bahwa etnis Aceh sebagian besar berasal dari Campa, seperti yang diutarakan oleh C. Snouck HurgronjeJudul pranala dalam karyanya The Atjehers (orang-orang Aceh). Hal ini dapat dilihat dari segi bahasa. Bahasa Aceh menunjukkan banyak persamaan dengan bahasa yang digunakan oleh bangsa Mon Khmer, penduduk asli Kamboja, baik dari segi tata bahasa maupun dalam peristilahannya.
Seorang ulama Aceh terkenal pada abad XIX , yaitu Teungku Kutakarang yang popular dengan sebutan Teungku Chik Kutarakarang (meninggal 1895) dalam karyanya Tadhkirat al Radikin menyebutkan bahwa orang Aceh terdiri atas tiga pencampuran darah yaitu Arab, Persi, dan Turki. Teungku Chik Kutakarang tidak menyebutkan adanya pencampuran dengan suku-suku bangsa lain seperti India dan lainnya. Pendapat yang lebih masuk akal dikemukakan oleh Julius Jacob, seorang sarjana Belanda dalam karyanya Het Familie en Kampongleven Op Groot Atjeh (1894) (Kehidupan Kampung dan Keluarga di Aceh Besar). Di sini Jakob mengatakan bahwa orang Aceh adalah suatu anthropologis mixtum, suatu percampuran darah yang berasal dari pelbagai suku bangsa pendatang. Ada yang berasal dari Semenanjung Melayu, Melayu-Minangkabau, Batak, Nias, India, Arab, Habsyi, Bugis, Jawa, dan sebagainya. Dapat disebutkan pula bahwa sultan-sultan terakhir yang memerintah di Kerajaan Aceh secara berturut-turut semenjak Sultan Alaidin Ahmadsyah (1727) sampai dengan Sultan Alaidin Mahmudsyah (1870-1874) dan yang terakhir Sultan Muhammad Daudsyah (1874-1903) adalah berasal dari Bugis.
Sebuah riwayat menyebutkan bahwa berdasarkan asal-usulnya, etnis Aceh dibagi ke dalam empat kawom (kaum) atau sukee (suku). Pembagian ini mulai dilakukan pada masa pemerintahan Sultan Alaaidin Al-Kahar (1530-1552).
Keempat kawom atau sukee tersebut, yaitu :
  • Kawom atau sukee lhee reutoh (kaum atau suku tiga ratus). Mereka berasal dari orang-orang Mante-Batak sebagai penduduk asli.
  • Kawom atau sukee imuem peut (kaum atau suku imam empat). Mereka berasal dari orang-orang Hindu atau India sebagai pendatang.
  • Kawom atau sukee tol Batee (kaum atau suku yang mencukupi batu). Mereka bersal dari berbagai etnis, pendatang dari baerbagai tempat.
  • Kawom atau sukee Ja Sandang (kaum atau suku penyandang). Mereka adalah para imigran Hindu yang telah memeluk agama Islam.
Pada awalnya, akibat asal-usul yang berbeda, keempat kawom ini seringkali terlibat dalam konflik internal. Kawom-kawom ini sampai sekarang masih merupakan dasar masyarakat Aceh dan solidaritas sesame kawom cukup tinggi. Mereka loyal kepada pimpinannya. Semua keputusan atau tindakan yang akan diambil selalu melibatkan pimpinan dan orang-orang yang dituakan dalam kawom-kawom tersebut.
Sesungguhnya etnis Aceh sebagai suatu identitas politik dan budaya mulai terbentuk semenjak awal abad XVI. Hal ini ditandai dengan terbentuknya Kerajaan Aceh Darussalam yang didirikan oleh Sultan Ali Mughayatsyah (lebih kurang 1514). Pembentukan ini diawali dengan adanya dinamika internal dalam masyarakat Aceh, yaitu terjadinya penggabungan beberapa kerajaan kecil yang ada di Aceh Rayeuk yang dilanjutkan dengan penyatuan Kerajaan Pidie, Pasai, Perlak, dan Daya ke dalam Kerajaan Aceh Darussalam. Selanjutnya, pertumbuhan dan pengembangan kerajaan ini ditentukan pula oleh faktor eksternal karena eksodusnya pada pedagang muslim dari Malaka ke ibukota Kerajaan Aceh, setelah ditaklukkannya Malaka oleh Portugis pada tahun 1511, dan juga berubahnya rute perdagangan para pedagang muslim dari jalur Selat Malaka ke Jalur Pantai Barat Sumatera. Keadaan ini menyebabkan ibukota Kerajaan Aceh (Banda Aceh) menjadi berkembang dan penduduknya menjadi lebih kosmopolitan.

Success


How do you measure success? Success. When you read that word, what images come to your mind? We all know people that seem to succeed at everything. Everything they try works. They win many awards. They make a lot of money. They are recognized for their achievements. Their health issues are manageable.
Recently, I attended the San Francisco Ocean Film Festival. The program
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Earn Money With Your Website